Selasa, 12 Agustus 2008

Dirgahayu RI ke 63


Drgahayu RI Ke-63, Merdeka dari penjajahan gaya baru.

Oleh Administrator

Enam puluh tiga tahun kemerdekaan RI adalah sebuah momentum yang tepat apabila seluruh gerakan mahasiswa bersatu melawan ketidakadilan dan penindasan terhadap masyarakat. Khususnya di kota semarang yang notabene merupakan Barometer gerakan politik mahasiswa di Jawa Tengah. Bagi gerakan mahasiswa melihat dan mendengar sebuah fenomena tentang apa yang terjadi di negeri ini utamanya adalah masalah kesejahteraan masyarakat yang belum tercapai itu menandakan perjuangan dan pekerjaan kita belum selesai. Karena semakin jelas, tampak berbagai masalah yang harus di tanggung masyarakat akibat kebijakan pemerintah saat ini harus segera kita sikapi bersama-sama. Mahasiswa sebagai Agent Of Change dan Agen Sosial Control tentunya punya peran yang sangat vital dalam rangka memberikan sebuah ide atau gagasan untuk sebuah perubahan yang lebih baik utamanya apabila ada kebijakan pemerintah yang tidak membela kepaentingan kaum yang lemah.

Sebagai pewaris sejarah bangsa, kita perlu menggunakan momentum 63 tahun dirgahayu RI sebagai mata rantai yang tidak terpisah dari tonggak-tonggak sejarah bangsa untuk menjawab tantangan masa kini dan masa depan. Untuk menjadi bangsa adil-makmur yang dapat menegakkan kepala di tengah pergaulan bangsa-bangsa sebagai kepastian masa depan, kita harus membangun kembali jiwa bangsa: menegakkan kembali martabat sebagai bangsa, menggelorakan kembali harapan di tengah frustrasi sosial yang mendalam, menemukan jalan bagi masa depan di tengah meluasnya romantisme untuk kembali ke masa lalu dan serbuan pragmatisme jangka pendek, dan meneguhkan kembali kegotong-royongan di tengah mekarnya individualisme.

Disadari atau tidak bangsa kita saat ini benar-benar dalam situasi belum sepenuhnya merdeka dengan kata lain kita masih dalam naungan penjajahan gaya baru “Neoliberalisme”, karena memang realitanya setiap kebijakan-kebijakan pemerintah selalu diwarnai dengan intervensi dari pihak asing, yang jelas berakibat mendatangkan penderitaan bagi rakyat. Bangsa kita juga terjajah karena saat ini hampir sebagian asset yang dimiliki Indonesia telah di kuasai oleh pihak asing, seperti industri-industri pertambangan dari Freeport sampai dengan Exxon mobil semuanya kini menjadi otoritas asing. Padahal jika Indonesia mau dan mampu menguasai dan mengelolanya sendiri kita tak akan kelimpungan dengan adanya kenaikan harga minyak dunia. Kita justru seharusnya mendapat banyak keuntungan. Namun saat ini Indonesia sebagai salah satu anggota Negara-negara pengeksport minyak “OPEC” malah mendatangkan minyak dari luar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sementara minyak dari dalam negeri yang kualitasnya jauh lebih baik di banding minyak impor malahan di bawa ke luar negeri. Ini sungguh ironis kawan-kawan. Seandainya pemerintah berani mengambil kebijakan untuk menasionalisasi industri-industri pertambangan tentunya keuntungan yang akan masuk ke kas Negara sangat luar biasa karena Exxon Mobil saja pemasukan per detik nya mencapai 12 juta rupiah. Bayangkan di tengah-tengah masyarakat kita yang saat ini rata-rata perharinya penghasilannya hanya di bawah USD 2. ini sungguh bentuk kerja sama yang merugikan pihak Indonesia, dan unsur penghisapan cenderung mendominasi.

Kenapa Indonesia terus mengalami kekurangan pasokan BBM dan gas?

Pertama Dominasi asing yang sangat kuat dalam pengelolaan Migas Indonesia. Sebanyak 85,4 persen dari 137 Korporasi pengelolaan lapangan migas di Indonesia dimiliki oleh perusahaan multinasional. Perusahaan nasional hanya punya porsi sekitar 14,6 persen. Data terbaru di BP Migas menyebutkan, hanya ada sekitar 20 perusahaan migas nasional yang saat ini mengelola lapangan migas di Indonesia. "Dari 20 perusahaan tersebut, baru 10 perusahaan yang sudah berproduksi. Sisanya, masih belum berproduksi.” Tidak jauh berbeda dengan pengelolaan minyak, dalam produksi gas, Indonesia sanggup memproduksi 97.8 juta kubik/ tahun. Indonesia masuk dalam daftar ke 9 penghasil gas alam di dunia, dan merupakan urutan pertama di kawasan Asia Pasifik. Akan tetapi, dibalik kenyataan ini, industri dalam negeri Indonesia menjerit dan gulung tikar akibat susahnya mendapatkan pasokan gas, seperti yang menimpa Pt. Pupuk Iskandar Muda (PIM). Penyebabnya tidak lain, karena

(1). hampir 90% dari total produksi tersebut dikuasai oleh 6 MNC, yakni; Total(diperkirakan market share-nya di tahun 2004, 30 %), ExxonMobil (17 %), Vico (BP-Eni joint venture, 11 %), ConocoPhillips (11 %), BP (6 %), dan Chevron (4 %).

(2). Orientasi kebijakan ekonomi dan perdagangan pemerintah yang metitikberatkan kepada ekspor (baca:mengejar devisa), menyebabkan hampir semua total produksi gas dijual kepada Jepang, Filipina, Thailand, Korea, dan Malaysia. Untuk total produksi mineral Indonesia, yang meliputi: emas, tembaga, perak, nikel, pasir besi, bauksit, dan konsentrat, juga memperlihatkan trend peningkatan produksi. Jika pada tahun 1999 Indonesia memproduksi 2,513,394.00 ton, maka, pada tahun 2002 Indonesia sanggup memproduksi 3,407,416.00 juta ton. Akan tetapi, dominasi perusahaan asing sangat kuat dalam produksi mineral tersebut, sekitar 80 % produksi emas Indonesia dikuasai oleh Pt. Freeport dan Pt. Newmont.

Kedua kelemahan Indonesia dalam melakukan negosiasi kontrak pertambangan. faktor kelemahan Indonesia dalam negosiasasi perjanjian pembagian keuntungan (profit-sharing agreement) adalah karena moralitas pemerintah Indonesia yang sejak jaman orde baru hingga sekarang berwatak inlader. Sebagai contoh, penggelembungan dana cost recovery(CR) Indonesia lebih tinggi sekitar 75 persen -125 persen/barel, dibandingkan rata-rata negara produsen minyak mentah di dunia.

Ketiga regulasi/ kebijakan yang mensahkan korporasi (MNC) menjarah kekayaan alam Indonesia, diantaranya: UU nomor 21/ tahun 2001 tentang Migas, UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan RUU Minerba. Kepatuhan pemerintah Indonesia bersama dengan partai-partai yang ada di DPR merupakan buah dari watak borjuis Indonesia yang lemah, plin-plan, dan oprtunis.

Maka, tidak ada jalan lain, rakyat Indonesia harus menegaskan kembali soal kemandirian ekonominya. Kemandirian ekonomi nasional bermakna; Penguasaan cabang-cabang produksi yang penting atau strategis, yang mengusai hajat hidup orang banyak oleh Negara. Penguasaan ini juga mensyaratkan bahwa bumi dan air (beserta kekayaan alam yang terkandung didalamnya) harus dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat. Kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan bangsa-bangsa didunia, ataupun dengan lembaga internasional, harus didasarkan pada prinsip saling menguntungkan, setara dan pengakuan akan kedaulatan bangsa masing-masing. Jalan paling tepat untuk menegakkan kedaulatan ekonomi, yakni dengan melakukan nasionalisasi (pengambil alihan) perusahaan tambang asing. Menurut Kalkulasi Migas Nasional, Effendi Sirajuddin, bahwa Pengalihan lapangan minyak dan gas bumi (migas) asing kepada perusahaan nasional akan menambah pendapatan negara sekitar 200 miliar US$ yang dihitung dari cadangan migas nasional sebesar 8 miliar barel. Selain itu, dari pembelanjaan barang dan jasa, selama ini Indonesia hanya menikmati satu miliar saja dari 10 miliar dollar AS/tahun. Itu artinya ada ketidakseimbangan pembagian hasil keuntungan dari explorasi sumur-sumur minyak kita.Karena logika pemerintah yang menghamba kepada kepentingan MNC-MNC milik borjuasi asing. Tidak salah kalau kemudian secara nasional kita mengalami krisis energi, walaupun cadangan di sumur-sumur minyak kita masih mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri. Dengan alasan menyelamatkan defisit APBN yang mencapai 35 triliun, pemerintah senantiasa mengorbankan kepentingan rakyat miskin.

Untuk itu bagi kami solusi yang terbaik adalah dengan melakukan nasionalisasi industri pertambangan yang saat ini di kuasai Asing, yang hasilnya diperuntukan untuk kesejahteraan rakyat. Jadikan momen ini untuk menuju bangsa yang benar-benar merdeka dari penjajahan dan penjarahan dalam bentuk apapun.

Catatan,
tulisan ini di kutip dari statment Fahruddin Fitriya dalam acara menyambut Dirgahayu RI Ke 63 di Gedung Auditorium IKIP PGRI Semarang Tanggal 10 agustus 2008.

Kebangkitan nasional

Kobarkan Api Kebangkitan Kaum Muda-Mahasiswa Menuju Kemerdekaan Sejati Rakyat!

Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Selalu terjajah, kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?

- kutipan, Pidato Soekarno (Pancasila), 1 Juni 1945

Mahasiswa adalah kelompok sosial yang beruntung memiliki akses untuk menyerap pengetahuan, sehingga lebih cepat memahami persoalan dan merumuskan jalan keluar politik. Tulisan ini hendak menjadi landasan berpikir bagi Gerakan Mahasiswa di Indonesia yang oleh banyak pengamat dianggap telah mengalami dis-orientasi, telah kehilangan elang gerakannya---tidak segarang tahun ’98, dan sebagainya.

Sejak Soeharto naik Neoliberalisme semakin massif di Indonesia. Industri pertambangan adalah lumbung rejeki imperialis; sektor pertambangan telah menjadi upeti utama bagi imperialis; masuknya Freeport tahun 1968, Newmont, Astra International, Exxon Mobil, Shell, Petronas, Total, Chevron, dan Texaco semakin menjelaskan kuatnya dominasi imperialisme Indonesia dan merampas kedaulatan negara kita. UU Migas/2001 memberi keleluasaan MNC/TNC Migas untuk menjarah kekayaan Migas kita. Coba bayangkan! Ditengah kekayaan alam negara kita, disektor Migas saja, sebuah perusahaan multi nasional (MNC) yang bergerak dalam bidang eksplorasi dan eksploitasi migas, termasuk utang (debt trap) sebagi alat Imperialis; Indonesia kemudian semakin tergiring dalam perangkap utang luar negeri dan semakin dipaksa untuk menjalankan syarat-syarat ekonomi ketentuan IMF yang disebut Struktural Adjusman Program [SAP]. Jeffrey Winters menyebutkan hingga krisis ekonomi 1997, hutang Indonesia yang layak disebut hutang najis (odious debt) paska Soekarno dari Bank Dunia dan ADB, serta lembaga multilateral dan bilateral lainnya. Nyata, bahwa Imperialisme paska Soekarno punya agen di Indonesia yaitu rejim-rejim yang sekarang berkuasa.

’98 merupakan pintu masuk bagi liberalisme di Indonesia; perubahan struktur ekonomi-politik kita dengan mekanisme UU yang lebih fleksibel terhadap dominasi modal, mensyaratkan tegaknya demokrasi liberal. Demokrasi formal ini kemudian men-kanalisasi segala bentuk gejolak politik ditingkatan massa, misalnya kesadaran politik massa dikanalisasi dengan Pemilu langsung, BLT, Askeskin, Dana BOS dan lain sebagainya. Tentunya dengan melaksanakan paket-paket kebijakan ekonomi neoliberal, seperti; pencabutan subsidi, liberalisasi perdagangan, privatisasi / swastanisasi, restrukturisasi perbankan, regulasi perundang-undangan dan lain sebagainya. Demokrasi liberal yang dijalankan rejim-rejim di Indonesia paska ’98 telah mengkerangkeng kesadaran politik rakyat dengan ilusi dan kesadaran palsu bahwa perubahan politik yang legal hanya dengan jalan pemilu yang demokratis, toh juga tidak menimbulkan perubahan mendasar!

Gerakan [mahasiswa] Reformasi’98

Perubahan situasi politik antara tahun ’98 dan sekarang ini. Tahun sebelum kejatuhan soeharto, situasinya adalah kediktatoran dimana aktivis gerakan [politik] mahasiswa bekerja dalam situasi syarat-syarat represif, sehingga perjuangan demokratisasi menjadi aspek pokok dalam perjuangannya.

Secara histories gerakan mahasiswa lahir dari polarisasi gerakan di tahun 1947; berawal dari lembaga kampus dan lembaga penerbitan, dan juga jaringan mahasiswa Nasional yang tergabung dalam PPMI membentuk Front Pemuda Indonesia [FPI], sedangkan lawannya gerakan mahasiswa yang dikooptasi oleh Belanda / kolonial dan kelompok tentara dan sayap kanan seperti Masyumi dan PSI keluar dari FPI ditahun 1950-an dan membentuk solidaritas mahasiswa lokal [SOMAL] dan mengibarkan slogan back to campus, kebebasan akademik, mahasiswa tidak boleh berpolitik, dsb.

Gerakan mahasiswa progressif revolusioner memandang kebutuhan bahwa gerakan mahasiswa harus menjadi gerakan politik yang berkolaborasi dengan massa rakyat untuk menuntaskan Revolusi Indonesia. Perjuangan mahasiswa-rakyat tahun ’98 memang telah melahirkan segi-segi positifnya bagi perkembangan demokrasi seperti; kebebasan mendirikan ormas, partai politik dengan sistem multi partai, serikat buruh, kebebasan mengutarakan pendapat; aksi dan demonstrasi, yang walaupun kesimpulan kita itu masih dalam batasan-batasan yang sangat minimal karena dalam beberapa kasus penguasa/pemerintah berkuasa masih sering menggunakan metode-metode represif untuk menghadapi protes-protes rakyat. Sehingga ada sebuah kebutuhan obyektif gerakan kedepan dalam makna kepeloporan kita [mahasiswa] untuk semakin membuka luas ruang-ruang demokrasi yang nantinya bisa menguntungkan perjuangan rakyat, terutama untuk berorganisasi secara bebas tanpa dikontrol dan dihambat, serta kebebasan dalam menemukan ideologi Demokrasi Kerakyatan.

Gerakan mahasiswa harus benar-benar membersihkan dirinya dari pandangan-pandangan yang tidak mendasar dan belum pernah dibuktikan oleh kajian sejarah yang mendalam! Pandangan-pandangan ini diwakilkan oleh kata-kata kaum intelektual/politisi borjuis-demokrat liberal. Semua paham-paham ini dihembus-hembuskan ke telinga mahasiswa oleh orang-orang yang ketakutan posisinya terancam jika gerakan mahasiswa menjadi radikal dan mulai bergabung dengan rakyat. Elit politik dan partai-partai politik kaum reformis gadungan yang berkuasa kini akan sangat takut kehilangan massanya jika gerakan mahasiswa bergabung dengan rakyat guna memperlihatkan ke mata rakyat kebusukan-kebusukan mereka!

Perjuangan mahasiswa ’98 yang diagung-agungkan sebagian kawan-kawan, sebagian lagi mencelanya sebagai gerakan yang gagal karena tidak mampu melahirkan perubahan mendasar; kesejahteraan bagi rakyat. Tapi, mengandung segi-segi positif dan negatif bagi perjuangan mahasiswa dan rakyat Indonesia kedepan, tapi perlu ditekankan disini bahwa segi positif dan negatif merupakan material yang menyebabkan gerak—menurut filsafat!

Yang dimaksud segi-segi positif dari perjuangan mahasiswa tahun ’98 disini antara lain; [1] Berhasil menjatuhkan simbol kediktatoran rejim orde baru Soeharto lewat aliansi mahasiswa-rakyat [buruh-tani-kaum miskin perkotaan], hal ini semakin membuka perspektif bahwa untuk menuntaskan perjuangan reformasi total gerakan mahasiswa harus membangun aliansi strategis gerakan bersama rakyat. [2] Walaupun tidak tuntas telah mampu merubah struktur politik—maksudnya membuka ruang-ruang demokrasi, seperti kebebasan pers, kebebasan membangun organisasi massa, pertemuan-pertemuan politik, dan pemilu multi-partai, meskipun harus diakui bahwa ini masih dalam syarat-syarat demokrasi borjuis. [3] Telah meluaskan aksi massa sebagai metode perjuangan bagi massa rakyat. [4] Meluaskan kesadaran kritis/politik selama 32 tahun floating mass meskipun masih terkadang tingkat kesadaran politik ini masih sangat rendah dan mudah dimanipulasi elit politik.

Sedangkan segi-segi negatifnya adalah; [1] Kelemahan strategi-taktik; membuat mahasiswa tidak mampu membangun struktur politik alternatif bersama gerakan rakyat, sehingga kepemimpinan politik –baca; transisi demokrasi- ditelikung oleh borjuis reformis palsu. [2] Fragmentasi gerakan, karena kesalahan memandang dan menyimpulkan situasi ekonomi-politik yang berkembang. [3] Kelemahan ideology gerakan membuat gerakan mahasiswa tidak cukup kuat bertahan ditengah liberalisasi politik dan perkembangan politik yang begitu cepat.

Nah, dari segi-segi positif ini kemudian muncul pandangan bahwa gerakan mahasiswa kemudian mengalami kemunduran drastis dalam hal kemampuan mobilisasi dan kualitas gerakan [ideology-politik-organisasi]. Situasi ini semakin diperparah oleh tidak adanya konsolidasi dalam makna upaya penyatuan gerakan, sehingga sulit menentukan –atau membaca dinamika politik yang ada, masih bersandar pada momentum.

Disisi lain, gerakan mahasiswa tidak punya struktur propaganda alternatif untuk melawan dominasi propaganda borjuis, sehingga yang terjadi kemudian kesadaran politik massa bisa dikanalisasi menurut syarat-syarat demokrasi borjuis.

Persoalan pokok dari Revolusi Demokratik rakyat Indonesia saat ini, adalah ketidakmampuan dari gerakan progresif [mahasiswa] dalam berkonsolidasi dan meningkatkan posisi mereka dalam konstelasi politik nasional yang mulai terbuka, mengambil alih dan memaksimalkan keterbukaan politik, hasil dari capaian reformasi’98.

Kebutuhan gerakan mahasiswa sekarang sebagai jawaban problem Gerakan yakni; [1] Konsolidasi sektoral mahasiswa, tahapannya bisa dua; pertama konsolidasi BEM satu sisi dan konsolidasi organisasi ekstra disisi lain, kedua konsolidasi bersama dalam bentuk rembug mahasiswa nasional. Kosolidasi sektoral ini akan membuka diri atau mampu terlibat aktif pada konsolidasi multi-sektoral gerakan rakyat. [2] Merumuskan strategi-taktik perjuangan yang tepat, sebagai kesimpulan pembacaan situasi sekarang dan sejarah perkembangan masyarakat indonesia. [3] Merumuskan program-program strategis sebagai solusi problem pokok rakyat indonesia.

Ini harus dimajukan, harus didorong tindakan politiknya agar lebih radikal bermuara pada pembebasan sejati rakyat dari belenggu penjajahan kapitalis-imperialis dengan politik.berdikari: Hapuskan utang luar negeri, nasionalisasi industri pertambangan asing, dan bangun industri nasional!

Saatnya kini rakyat harus disadarkan, rakyat harus diberi pendidikan politik langsung lewat pengalaman langsung perjuangan parlementer yang dikombinasikan dengan perjuangan massa-ekstra-parlementer. Logikanya, perjuangan di lapangan parlemen akan semakin mendorong maju kesadaran politik rakyat bahwa kita harus membangun kekuatan alternatif yang ber-sinergi pada semakin memperbesarnya gerakan massa-ekstra parlementer.

Cukup sudah kita menjadi bangsa kuli di negeri sendiri, saatnya kini kita bangun persatuan untuk bangkit melawan. Dengan demikian, dalam kontradiksi di Indonesia, dalam kerangka mengantisipasi krisis ekonomi-politik yang semakin dekat kedatangannya, kedepan harus menjadi tugas pokok bagi segenap gerakan rakyat progresif revolusioner!

Salam Pembebasan.....Ayo Berontak!

Hidup Mahasiswa-Rakyat.

Senin, 11 Agustus 2008

Media LMND Semarang

www.lmndsemarang.blogspot.com adalah ruang publik bagi siapapun yang berminat memproduksi pengetahuan yang berasal dari lingkungan dan keseharian kita. Ada banyak dinamika kehidupan yang kita alami dan hadapi setiap saat. Tetapi, tidak semua hal yang kita alami dan saksikan terekam menjadi sumber pengetahuan untuk banyak orang. Padahal, ada banyak peristiwa penting yang tak tersampaikan kepada publik. Juga ada banyak pandangan dan perspektif pemikiran yang hampir tidak mungkin diwadahi oleh media-media konvensional.

Di era komersial seperti sekarang, mengharapkan media-media konvensional/komersial menjadi sarana aspirasi rakyat yang sebenarnya hampir tidak bisa diharapkan. Mengapa, karena informasi lebih dilihat sebagai komoditas daripada sumber pengetahuan yang berguna bagi banyak orang. Demikian pula muatan informasinya. Di Indonesia paling tidak, jika bukan pembahasan ekonomi finansial, intrik politik antarpolitisi, pornografi dan tahayul, maka gosip artis penghiburlah yang memberi warna dominan media-media konvensional yang ada.

Kenyataan seperti itu sama sekali tidak alamiah. Kita bisa menolak sekaligus mengubahnya. Dengan kemajuan teknologi internet, tidak hanya media-media konvensional bermodal besar yang bisa memanfaatkan kemajuan itu, tetapi juga bagi media-media alternatif yang lahir untuk menandingi dominasinya. Jika selama ini anda hanya menjadi konsumen informasi media konvensional, maka sudah saatnya anda menjadi produsen informasi. Mengabarkan kenyataan adalah hak. Dan menyuarakan kebenaran untuk perubahan menuju kebaikan adalah kehidupan.

Jadi, mengapa harus menunggu nanti jika anda bisa melakukannya hari ini?!